Rumah Tradisional Bubungan Tinggi
Rumah Adat Banjar awalnya bernama Rumah Bubungan Tinggi, dinamakan demikian karena bagian atapnya berbentuk atap pelana demikian tingginya dan lancip ke atas dengan membentuk sudut sekitar 45 ยบ. Rumah adat Banjar pada mulanya hanyalah dibangun dengan kontruksi yang berbentuk segi empat yang memanjang ke depan. Perkembangan selanjutnya, pada samping kiri dan kanan bangunan agak ke belakang disumbi ditambah dengan sebuah ruangan yang panjang dan lebarnya berukuran sama. Bangunan tambahan yang menenpel di samping kiri dan kanan dalam istikah Banjar dimanakan Pisang Sasikat “pisang sesisir” dan menganjur keluar. Bangunan tambahan di kiri kanan ini disebut dengan ‘’anjung’’ . Oleh karena itu, rumah adat banjar juga disebut dengan rumah Baanjung.
Rumah Adat Banjar Bubungan Tinggi dan Rumah Adat Banjar Gajah Baliku adalah rumah Baanjung yang terletak dalam satu area. Lokasi bangunan berada di sisi sebelah barat Sungai Martapura. Secara administratif bangunan ini berlokasi di jalan Martapura Lama, Desa Teluk Selong Ulu, Kecamatan Martapura Barat, Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan.
Suku dayak lebih banyak dipengaruhi kepercayaan Kaharingan sehingga suku dayak percaya bahwa alam semesta dibagi menjadi dua bagian yang terdiri atas alam bawah dan alam atas, hal ini pun mempengaruhi juga trehdap bentuk pemisahan jenis dan bentuk rumah Adat Banjar sesuai dengan filsafat dan religi. Pengaruh tersebut melahirkan pemikiran terhadap keadaan di mana meresa seakan-akan tinggal di tengah-tegnah antara atas dan bawah, sementara itu dari dunia atas dan bawah dilambangkan dengan Mahalata dan Jata atau Suami dan Istri. Sedangkan rumah bubungan tinggi melambangkan berpadunya dunia atas dan bawah Dwitunggal Semesta.
Kepercayaan orang Banjar masih tinggi terhdap hal-hal yang besifat gaib, beigitupun dengan rumah yang mereka huni bahwa rumah dianggap sebagai tempat bersemayam makhluk gaib oleh para dewata seperti rumah Balai suku Dayak Bukit yang berfungsi sebagai rumah ritual. Pada masa Kerajaan Dipa, sosok nenek moyang diwujudkan dalam bentuk patung pria dan wanita disembah dan ditempatkan dalam istana. Pemujaan arwah nenek moyang yang berwujud pemujaan Maharaja Suryanata dan Putri Junjung Buih merupakan symbol perkawinan (persatuan) alam atas dan alam bawah Kosmogini Kaharingan-Hindu. Suryanata sebagai manifestasi dewa Matahari (Surya) dari unsur kepercayaan Kaharingan-Hindu, matahari yang menjadi orientasi karena terbit dari timur selalu dinantikannya sebagai sumber kehidupan, sedangkan Putri Janjung Buih berupa Lambang air sekaligus lambang kesuburan tanah sebagai Dewi Sri di Jawa.
Tidak ada komentar: